BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah pembukuan dan penulisan hadits dan ilmu hadits telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang mulai dari Rasullullah saw., kemudian terus kepada sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga saat sekarang hingga mencapai puncaknya pada abad ketiga hijriah
Sebenarnya, setelah para ulama berhasil menyusun kitab-kitab hadits seperti Shahih Al-Bukhari, kajian terhadap periwayatan hadits sudah berakhir, tapi sekarang ini terjadi kecenderungan umat Islam telah melupakan ilmu hadits ini, kebanyakan mereka hanya mengutip hadits-hadits ulama terdahulu tanpa mengetahui apakah hadits tersebut shahih atau dhai’f.
Oleh karena itu penulis berniat membuat makalah yang berjudul “Ulumul Hadits, Sejarah dan Perkembangannya” supaya kita dapat memahami ilmu-ilmu tentang hadits.
B. TUJUAN
Tujuan pemakalah untuk membuat makalah ini adalah agar para pembaca sekalian mengetahui apa pengertian ulumul hadits dari sisi riwayah dan dirayah, dan juga bagaimana sejarah dan perkembangan ulumul hadits dari masa Rasulullah saw. sampai sekarang. Selain itu kita juga bisa mengetahui apa saja dari cabang-cabang dari ulumul hadits
C. RUMUSAN MASALAH
Kalau kita mengkaji masalah ulumul hadits pasti luas cakupannya. Oleh karena itu penulis membatasi hanya membahas tiga pokok bahasan saja, yaitu:
1. Pengertian ulumul hadits
2. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ulumul hadits
3. Cabang-cabang “ulum al-hadits”
BAB II
PEMBAHASAN
ULUMUL HADITS, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian Ulumul Hadits
1. Ulumul Hadits Dalam Konteks Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, ketetapan, tabi’at maupun tingkah lakunya.”[1]
Objek dari ilmu hadits riwayah adalah bagaimana tata cara menerima dan menyampaikan hadits kepada orang lain, dan bagaimana pula tata cara pemindahan dan pembukuannya, akan tetapi tidak sampai pada permasalahan ada tidaknya kejanggalan dan kecacatan pada matannya.
Oleh sebab itu pembahasannya hanya terbatas pada masalah penyampaian dan pembukuan sesuai dengan apa adanya, baik yang berhubungan dengan matan mauupun rangkaian merantai para perawinya.[2]
Faedah mempelajari ilmu ini: adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Perintis pertama ilmu riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry.[3]
2. Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah adalah “Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang dengannya diketahui perbedaan antara hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw., dan hadits yang diragukan penyandaran kepadanya.
Yang termasuk cabang-cabang ilmu hadits dirayah antara lain ilmu rijal al-hadits, ilmu tarikh ar-ruwat, dan ilmu jarh wa ta’dil. Objek pembahasan Ilmu Dirayah, diantaranya:
1. Keadaan para perawi (راوى / رواه), baik yang berkaitan dengan sifat kepribadian (seperti perilaku keseharian, watak dan kualitas daya ingatannya) maupun masalah sambung tidaknya rangkaian mata rantai para perawinya.
2. Keadaan yang diriwayatkan ( مروى ), baik dari sisi keshahihan dan kedha’ifannya maupun dari sisi lain yang berkaitan dengan keadaan matan.
Dengan demikian, manfaat yang dapat diambil dari mempelajari ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dapat dijadikan sebagai alat yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengetahui sejauh mana kualitas sebuah hadits.
Selain manfaat diatas, juga ada manfaat yang lain, diantaranya:
1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasulullah saw. sampai sekarang,
2. Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits,
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam megklasifikasikan hadits lebih lanjut,
4. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristinbat.[4]
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Hadits
1. Hadits Pada Masa Rasullah saw.
Kedudukan nabi menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi para sahabat dan para sahabat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang tidak diketahuinya baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Mereka mentaati semuanya bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
1. Melalui para jema’ah pada pusat pembinaannya yang disebut dengan majelis al-‘ ilmi.
2. Dalam banyak kesempatan Rasulullah saw. juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.
3. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathul makkah.[5]
2. Hadits Pada Masa Sahabat
Periode sahabat berlangsung sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar dan juga terkenal dengan sebutan “zamanut tastabbuti wal iqlali minarriwayah ( زمن التثبت والاقلال من الرواية )” yaitu masa pengokohan dan penyederhananaan riwayat, sehingga masalah penulisan hadits belum dianggap suatu hal yang mendesak untuk dilaksanakan, hadits masih tetap di hafal dan upaya-upaya penulisan masih dianggap mengkhawatirkan akan mengganggu perhatian mereka terhadap penulisan al-Qur’an lantaran keterbatsan tenaga dan sarana.
Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai kalifah pertama mengeluarkan kebijakan tidak mengizinkan sahabat menulis hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk membakar 500 hadits yang telah di catatnya.
Selanjutnya, melihat faktor kekhawatiran perhatian para sahabat terhadap program penulisan al-Qur’an terganggu, lalu niat Umar bin Khattab untuk membuat program penulisan hadits di batalkan, apalagi mayoritas Sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut.
Sekalipun demikian penulisan hadits tetap saja di lakukan oleh sahabat, diantaranya adalah Ibnu mas’ud, Ali bin Abi thalib, dan Aisyah, dan yang lainnya. Karakter yang menonjol dari periode ini adalah kuatnya komitmen para sahabat terhadap segala bentuk perintah Allah dengan cara memelihara ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf, sehingga setelah terkumpul barulah mereka menulis hadits.
3. Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, hanya saja persoalan yang dihadapi agak berbeda, sebab pada masa ini al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf, sedang para riwayat hadits dari kalangan sahabat sudah tersebar diberbagai daerah, apalagi setelah pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah.
Kemudian ketika pemerintahan dipegang oleh ‘Umar bin Abdul ‘Aziz terbentuklah Lembaga Kodifikasi Hadits secara resmi.Yang melatarbelakangi Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz untuk mengumpulkan dan mengkodifikasi hadits pada waktu itu antara lain:
1. Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik karena sudah lanjut usia, ataupun gugur sebagai pahlawan perang.
2. al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan al-Qur’an.
3. Islam telah mulai melebarkan syi’arnya melampaui jazirah Arab, maka hadits sangat diperlukan sebagai penjelas al-Qur’an.
Oleh karena itu, maka masa ini dikenal dengan sebutan masa pembukuan (‘ashr al-tadwin / عصر التدوين ), sehingga pada abad 2 H ini, tersusunlah kitab-kitab koleksi hadits. [6]
Diantara tokoh-tokoh tabi’in yang termashur dalam bidang riwayat antara lain Sa’id, Az-Zuhry, ‘Umar ibn Abdul Aziz dan Yazid ibn Habib.[7]
4. Hadits Pada Abad Ke- 3
Masa ini dikenal dengan sebutan “masa penyaringan pensyarahan hadits”, terutama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyya, mulai dari khalifah Al-Ma’mum sampai Muqtadir (201-300 H). Pensyarahan dan penyaringan hadits dilakukan karena masa sebelumnya belum berhasil melakukan pemisahan beberapa hadits dha’if dengan hadits shahih, bahkan terkesan hadits maudlu’ bercampur dengan hadits shahih.
Ulama yang pertama kali melakukan penyaringan hadits-hadits shahih adalah Ishak ibn Rahawaih, dan kemudian dilanjutkan oleh Imam Bukhari, dan diteruskan oleh muridnya Imam Muslim. Pada masa ini, umat islam telah berhasil melakukan beberapa hal, diantaranya:
1. Memisahkan hadits nabi dari yang bukan hadits (fatwa sahabat dan tabi’in),
2. mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang dikatakan hadits nabi dengan melakukan penelitian pada matad dan mata rantai sanadnya.[8]
5. Hadits Pada Abad Ke- 4
Pada masa ini dilakukan sistem penyusunan kitab-kitab koleksi hadits yang lebih mengarah pada upaya pengembangan dalam berbagai variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada secara sistematis, misalnya pola-pola:
1. Menghimpun hadits-hadits yang terdapat pada kitab shahihaini (kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim),
2. Mengumpulkan hadits menurut bidangnya, seperti yang memuat hadits-hadits tentang hokum
3. Kolektor menyusun kitab athraf, artinya pengarang hanya menyebutkan permulaan dari tiap-tiap hadits yang dapat menunjukkan kelanjutannya.
6. Hadits Pada Abad Ke- 5 - Sekarang
Setelah umat Islam ditaklukkan oleh Bangsa Barat, penyampaian ajaran Nabi tidak dapat dilakukan secara terang-terangan, akibatnya kegiatan penelitian terhadap para perawi hadits terhenti.
Sekalipun demikian, masih ada ditemukan ulama yang berani berkunjung ke berbagai daerah untuk mendiktekan hadits, dengan cara duduk didalam masjid setiap hari jum’at, lalu menguraikan hadits tentang nilai dan kandungan sanadnya kepada para jama’ah dan jama’ah mencatatnya, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin al-‘Iraqi (w. 806 H), Ibnu Hajar (w. 858 H), al-Syakhawi (murid Ibnu Hajar).[9]
C. CABANG-CABANG “ULUM AL-HADITS”
1. Ilmu Rijal Al-Hadits ( علم رجال الحديث )
Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membicarakan seluk-beluk dan sejarah kehidupan para perawi, baik dari generasi sahabat, tabi’in maupun tabi’ tabi’in. Intinya objek kajiannya adalah pada matan dan sanad. Perawi yang menjadi objek kajian ilmu ini adalah
a. Para Sahabat, sebagai penerima pertama dan sebagai kelompok yang dikenal dengan sebutan thabaqat awwalun (generasi pertama)
b. Para Tabi’in, dikenal sebagai thabaqat tsani (generasi kedua)
c.
d.
Ulama yang pertama kali yang menuyusun kitab riwayat ringkas para sahabat adalah Al-Bukhary (256 H), dan dilanjutkan oleh Muhammad Ibnu Saad, dan ada lagi Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya yang bernama Al-Istiab.[10]
2. ‘Ilmu Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ الرواة )
Ilmu Tarikh al-Ruwwat adalah ilmu mengetahui para perawi hadits dari sisi hubungannya dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membahas masalah sejarah perjalanan hidup para perawi. Kitab yang membahas masalah ini adalah
a. التاريخ الكبير, karya al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (194-256 H),
b. تهذيب الكمال, karya Jamaluddin bin Yusuf al-Muzziy (742 H),
c. تهذيب التهذيب, karya Al-Hafidh Syihabuddin Abi al-Fadlal Ahmad bin ‘Ali (Ibn Hajar) al-‘Atsqalaniy (773-852 H),
3. ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم الجرح والتعديل )
Ilmu al-Jarh wa at-ta’dil adalah “Ilmu yang membahas keadaan para perawi hadits dari sisi diterima dan ditolaknya periwayatan mereka.”
Ilmu jarakh wa ta’dil bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengungkapkan sikap negatif dan positif yang melekat pada perawi hadits.
Diantara ulama yang menyusun kitab ilmu ini antara lain kitab Tabaqat karya Muhammad ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H).[11]
4. ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا لورود)
Asbabu wurud al-hadist ialah sesuatu yang membatasi arti dari suatu hadist, baik yang berkaitan dengan arti umum atau khusus, muqayyadi atau mutallak, di nasakh atau seterusnya.
Menurut istilah, ilmu Asbab Al-Wurud adalah Suatu ilmu yang membahas masalah sebab-sebab nabi saw menyampaikan sabdanya pada saat beliau menuturkannya, sedang tata cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits, hanya bisa diketahui dengan adanya periwayatnya, bukan lainnya.[12]
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain:
a. اسباب الحديث , karya Abu Hafs al-‘Akbari, Syaikh al-Qadli Abi Ya’la Muhammad bin al-Hussain al-Fazza’I al-Hanbali (380-458 H)
b. البيان والتعريف فى اسباب ورود الحديث الشريف , karya Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin (Ibnu Hamzah) al-Husainiy al-Dimasyqy (1054-1120 H).[13]
5. ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh ( علم النسخ والمنسوخ )
Al-Nasikh Wa Al-Mansukh ialah Ilmu yang membahas problem hadits-hadits yang secara lahiriyah berlawanan, yang dintara keduanya tidak mungkin untuk di pertemukan lantaran adanya materi (yang secara lahiriyah) bertentangan, padahal hakikatnya saling hapus menhapus. Makanya (hukum) yang datangnya terdahulu dikenal dengan sebutan “mansukh” dan yang datangnya kemudian dikenal dengan sebutan “nasikh”.
Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain Nasikh al-Hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).[14]
6. ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)
‘Ilal Al-Hadits ialah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat membuat hadits shahih yang menjadi tercemar, seperti menyatakan hadits muttashi pada hadits yang pada hakikatnya munqathi’, menyatakan hadits marfu’ pada hadits yang pada hakikatnya mauquf atau memasukan hadits kedalam hadits lain dan lain sebagainya.
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain Kitab Ilalil Hadits karya ‘Ibnu Abi Hatim (327 H).[15]
7. ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)
Ilmu Gharib al-Hadits ialah ungkapan arti kosa kata matan hadits yang sulit dimengerti dan rumit dipahami lantaran kosakata tersebut memang asing dan tidak dikenal.
Objek pembahasan ilmu ini adalah kata-kata yang sulit atau susunan kalimat yang sulit dipahami maksud yang sebenarnya.
Diantara para ulama yang pertama kali menyusun hadits-hadits yang gharib ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Masnat At-Tarmimi Al-Bisri (w. 210 H) dan salah satu kitab terbaik yang ada saat sekarang ini adalah kitab Nihayah Gharib Al-Hadis karya Ibnu Al-Asir.[16]
8. ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits ( علم مختلف الحديث )
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits secara lahiriah saling bertentangan, lalu dihilangkan atau keduanya dikompromikan, sebagaiman membahas masalah hadits-hadits yang kandungannya sulit dipahami atau sulit dicari gambaran yang sebenarnya, lalu kesulitan tersebut dihilangkan dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya.
Objek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang secara lahiriyyah saling bertentangan, sehingga dengan mempergunakan ilmu ini, tingkat kesulitan bisa teratasi.
Adapun ulama yang pertama kali meyusun kitab yang khusus membahas ilmu ini adalah Imam Syafi’i dengan bentuk satu jilid dalam kitabnya al-Um, juz VII yang berjudul “Ikhtilaf al-Hadits” lalu disusul oleh ulama lain, diantaranya kitab Musykil al-atsar karya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Thahawi (321 H).[17]
9. ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم التصحيف والتحريف )
‘Ilmu al-tashhif wa al-tahrif adalah ilmu yang membahas keadaan hadits-hadits yang sudah diubah titik-titik atau syakal (مصحف )nya dan bentuk (محرف)nya.
Adapun kitab yang membahas ilmu ini antara lain kitab Ad Daraquthny (385 H) dan kitab At Tashhif wat tahrif, karangan Abu Ahmad Al Askary (283 H).[18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu Hadits Dirayah adalah “Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang dengannya diketahui perbedaan antara hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw., dan hadits yang diragukan penyandaran kepadanya.
Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, ketetapan, tabi’at maupun tingkah lakunya.”
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ulumul hadits terbagi beberapa periode :
1. Hadits Pada Masa Rasullah saw.
2. Hadits Pada Masa Sahabat
3. Hadits Pada Masa Tabi’in
4. Hadits Pada Abad Ke- 3
5. Hadits Pada Abad Ke- 4
6. Hadits Pada Abad Ke- 5 – Sekarang
Cabang-cabang “ulum al-hadits” antara lain:
1. Ilmu Rijal Al-Hadits ( علم رجال الحديث )
2. ‘Ilmu Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ الرواة )
3. ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم الجرح والتعديل )
4. ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا لورود)
5. ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh ( علم النسخ والمنسوخ )
6. ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)
7. ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)
8. ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits ( علم مختلف الحديث )
9. ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم التصحيف والتحريف )
B. Saran
Karena hadits adalah bagian dari sunnah Nabi Muhammad saw., dan merupakan salah satu dari sumber hukum Islam, maka sudah sepatutnya kita harus mempelajari tentang ulumul hadits. Kita harus mempelajari tentang hadits mana yang shahih, mana yang dha’if dan mana yang hasan. Apabila kita sudah mengetahuinya, maka kita akan terhindar dari pemakaian hadits-hadits yang palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. dan Muzakkir. 1998. Ulumul Hadis.
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 1997. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
Http://Mediabilhikmah.Multiply.Com/Journal/Item/56
Http://Www.Cybermq.Com/Pustaka/Detail//98/Ulumul-Hadis-Hadis-Ar--Ulum-Al-Hadls
Http://Www.Homeartikel.Co.Cc/2009/12/Pengertian-Dan-Sejarah-Cabang-Cabang.Html
Mudasir, Ilmu Hadits, (
Suparta, Munzier. 2001. Ilmu Hadis,
Zein, M. Mashum. 2007. Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits.
[1] Mudasir, Ilmu Hadits, (
[2] Mashum Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, (Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007), hlm. 98
[4] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (
[5] Ibid., hlm. 71
[6] Ma’shum Zein, Op.cit., hlm. 81
[7] Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 54
[8] Ibid., hlm. 88
[9] Ibid., hlm. 92
[10] M. Ahmad dan M. Muzakkir, Ulumul Hadis, (
[11] M. Ahmad dan M. Muzakkir, Op. cit., hlm. 61
[12] Munzier Suparta, Op. cit,, hlm. 38
[13] Ma’shum Zein, Op. cit., hlm. 112
[15] Ash-Shiddieqy, Op. cit., hlm. 140
[16] Mudasir, Op.cit., hlm. 56
[17] Ma’shum Zein, Op. cit., hlm. 125